Kamis, 18 November 2021

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020?
Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama.

Tiga tahun ternyata cepat juga, jadi pengin nostalgia sebentar...,

Ngomongin soal keputusan setengah hati, sebenarnya semua orang pernah mengalami. Hanya saja untuk kasus sekarang terjadi pada awal mula memulai fase yang baru. Kuliah.

Dari awal kuliah yang jadi pegangan adalah ketika lulus nanti bakal jadi ASN, udah gitu aja tanpa tahu mau belajar apa karena clueless banget dengan Akuntansi. Sempat belajar mikro ekonomi, tapi cuma satu semester di SMA, buat apa.

Dua belas tahun belajar sains-matematika, yang tiap hari cari berapa nilai X, Y, dan Z, turunan, integral, trigonometri, belum lagi cari berapa percepatan, kecepatan, gaya, newton, mol, reaksi kimia, dan teori darwin, tiba-tiba harus bisa baca grafik supply, demand, investasi, interest, time value of money, alur penyusunan APBN, debit, kredit, dsb. Roaming..., tentu saja iya. Ditambah masa-masa denial dengan cost opportunity yang lumayan besar menjadi 'beban' yang mau nggak mau harus dipikul.




Iya, Fakultas Teknologi Industri—Institut Teknologi Bandung. Cita-cita sejak tau dan mengenal nama Baharuddin Jusuf Habibie, menjadi seorang insinyur di salah satu insinyur terbaik negeri. 

Time is the best healer, itu benar nggak benar. 

Nyatanya sampai setahun kemudian masih merasa, "ini bener gak sih ngelepas ITB?";

"ITB, lho. FTI! are seriously?"

"Cuy, ITB banyak banget yang pengin ke sana, bahkan anak-anak olimpiade internasional aja ada di sana. Dan kamu melepas cuma gara-gara....."

"12 tahun belajar IPA, uplek-uplek matematika, kimia, fisika, akhirnya ke akuntansi?"

Iya..., suara-suara sumbang dari hati yang terdengar hampir satu tahun penuh. Apalagi kalau lagi breakdown gara-gara hal sesepele capek gara-gara kuliah. Padahal kalaupun di ITB juga bakalan ngerasa capek. Sampai akhirnya, di awal semester 2 ada lomba tingkat jurusan tentang pembuatan essay. Tema yang diberi ada 2: Ekonomi dan Akuntansi.

Niat sih ada, tapi belum nemu topik yang pas dan mood untuk nulis kala itu. Hingga mendekati dateline, sore nya memantapkan diri menulis tentang disrupsi. Ada moment konyol sebenarnya, harusnya setelah submit email, kita harus isi form registrasi sekalian mengikuti FGD, namun gara-gara hektik mendekati dateline dan submit emailnya mendekati jam 12 malem, hasilnya kelupaan. Dan tiba-tiba pas kuliah dikabarin sama temen sekelas yang juga jadi panitia, "Nis, kamu dapet juara lho!". Percaya? enggak lah, ya karena memang gak ekspektasi langsung dapat juara. Tapi alhamdulillah ternyata dapat juara 2.

Beberapa bulan setelah itu, tiba-tiba dimasukkan ke dalam group dan diminta untuk datang ke Gedung P lt.2 yang merupakan gedung khusus dosen jurusan akuntansi. Dijelaskan maksud dan tujuan nya dikumpulkan yaitu diikutsertakan dalam Olimpiade Akuntansi Vokasi di Pontianak, Kalimantan Barat. Ingat banget, itu bulan Maret, sedangkan di bulan April ada UTS. Jadilah, dengan persiapan seadanya karena mau gak mau tetap prioritaskan UTS hasilnya juga seadanya. Kami gak nuntut harus juara.

Moment itu jadi titik balik untuk berbenah bahwa yaudah, memang sudah saatnya untuk fokus di 'kehidupan' sekarang. Seakan-akan Allah bilang, 

"Kamu, kalau di ITB belum tentu lho naik pesawat gratis, belum tentu juga mewakili kampus di lomba sekelas Olimpiade tingkat Nasional."

Sekarang, November 2021, sudah setahun lebih wisuda dari kampus ini. Lulus dengan jatuh-bangun yang lumayan terasa. Ritme yang menuntut untuk terus adaptasi dengan keadaan dan sampailah dititik ini menjadi seseorang yang baru.

Time is healer, iya. Tapi harus ada usaha mengikutinya.

Selasa, 26 Maret 2019

Dandelion 20 — You're not alone, dude!

Pernah nggak sih ada suatu waktu yang kita mikir bahwa yang sedih itu kita sendiri. Kita lihat orang-orang yang dengan gampangnya senyum, ketawa, jalan dengan entengnya. Kita? Buat senyum aja kayak perlu ngeluarin beribu-ribu joule.

Ketika tugas numpuk, kuis tiap minggu, nilai yang pas-pasan, ngeliat temen yang bisa nongkrong di warung borjuis. Hidupnya enteng aja. Seolah kamu hidup ya buat tidur, makan, jalan, dan repeat. Nggak ada tuh yang besok kuis, besok tugas dikumpul ya, belum lagi segelintir beban yang musti kamu lakukan.

You're not alone.

Iya,

You're not alone.

Kamu yang merasa stress, aku juga pernah merasakan. Kamu yang merasa seolah, 'kok hidup gue begini-begini amat ya', aku juga pernah. Kamu yang merasa bahwa kamu manusia terprihatin, aku juga pernah.

Pada dasarnya semua manusia juga merasakan—dengan tingkatnya masing-masing, bukan? Stress, depresi, takut, resah, khawatir, semua manusiawi kan? Bergantung personality kamu dalam menyingkapi.

Me time, perlu nggak sih? Apa melulu soal bagaimana aku harus cepat sampai tujuan? Apa melulu soal bagaimana aku harus sesuai dengan ekspektasi orang-orang?

Me time nggak harus kamu pergi ke suatu tempat. Tidur, pegang hp, youtube. Buat hidup kamu terasa slowly. Buat kamu sadar dulu bahwa kamu itu masih hidup lho. Masih yang ada waktu di depan, masih yang besok itu kamu bisa kerja.

At least, you're not alone, dude.

Aku. Ada. Di. Sini.

Senin, 04 Maret 2019

Dandelion 19 | Me, My Self and I

Kalau aku bilang, "I love you so much" kepada kamu, apa kamu percaya?

Mungkin akan terdengar bulshit dan omong kosong karena jarang bahkan nggak mungkin aku mengatakan khusus untukmu, diriku sendiri.

Aku terlampau fokus dengan apa yang ada di luar—sekeliling dan masa depan— hingga aku melupakanmu. Kalau aku ingin meminta maaf kepadamu sekarang, apa kamu akan memaafkanku?

Terlambatkah? Atau kamu akan suka rela memaafkan tanpa ada syarat yang ingin kamu ajukan? Kalau ada syarat, ucapkan syarat itu kepadaku. Tolong.

Aku tau tapi selama ini aku coba menutup diri bahwa jika kamu dan aku bersama, kita akan saling membahagiakan, fokus terhadap tujuan, bahkan mengguncangkan semesta. Tapi aku terlampau menyakitimu kan?

Aku meminta maaf.

Maaf atas semua yang kulakukan. Menyalahkan apa yang selama ini dikerjakan, mencaci apa yang selama ini diyakini, dan menyangkal apa yang selama ini dibenarkan. Aku egois kah? Tolongjawab!

Maafkan aku. Aku terlampau khilaf menyadari bahwa keberadaanmu sangat penting untukku sekarang dan masa depan. Aku berharap bahwa kita bekerja sama. Sedih-susah-bahagia-berharap bersama.

Tidak ada lagi namanya mengasingkan bahkan membinasakan. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Aku-kamu adalah kita. Ya... Kita.

Mari... Siapkah mengguncang dunia? Mimpi kita menunggu di ujung sana.

Aku tidak akan berjanji untuk tidak mengulang kembali. Khilaf-khilaf itu manusiawi. Tapi aku akan terus mencoba untuk mencintaimu, menyayangimu, bahkan sebelum ada orang ketiga di antara aku dan kamu. Kamu mau?

Berjanjilah setia terhadapku meskipun aku tau aku tidak menjanjikan kepadamu.

Dari, Aku.

Senin, 25 Februari 2019

Dandelion 18 | Internal Vs Eksternal

Kok lo nggak ikut organisasi internal kampus?

Sudah begitu lama memikirkan jawaban atas pertanyaan yang sering diajukan. Mau menjawab tapi belum nemu jawaban. Bukan belum sih, merangkai katanya saja yang sulit.

Sebenernya jawabannya sederhana, "Gue butuh circle yang luas."

Gue butuh yang pandangan yang lebih luas, pandangan dengan berbagai latar belakang, dan ke abstrakan masa depan.

Gue cukup tau dari teman-teman secara luar nya saja, tapi its for me enough. Gue cukup tau untuk atmosfer organisasi kampus seperti apa dan compare dengan apa yang gue dapat dari komunitas eksternal.

Balik lagi, gue butuh pandangan yang berbeda dan circle yang luas. Kalau di organisasi internal gue dapat keduanya, tapi itu menurut gue nggak cukup.

Gue sadar diri sekarang menjadi mahasiswa ikatan dinas yang insyaAllah nantinya akan jadi abdi negara. Circle lo yang lo dapat nanti adalah para aparatur sipil negara, dan itu pasti kan? Sedangkan sekarang, dengan latar belakang yang sama—posisi yang "me-pemerintah" ketika dihadapkan dengan suatu perkara kita akan berpandangan yang sama.

Oke, gue sadar juga manusia tidak ada yang sama. Tapi dengan dasar yang sama—konsep yang sama, pola pikir akan sama bukan?

Dan gue gak cukup dengan itu.

Ini yang mungkin buat gue harus keluar dari zona. Gue nggak mungkin begini terus. Gue nggak mungkin di desak tanpa tahu harus bertindak. Maka dari itu gue gabung di komunitas eksternal.

Di komunitas gue dapat teman -teman dari berbagai kampus, berbagai jurusan, dan berbagai sudut pandang.

Begini, mereka yang  di kampus negeri, mungkin bisa aktif di kampus masing-masing tanpa harus bersusah susah mencari circle di luar. Tapi bagi gue, gue yang nantinya akan berkumpul dengan para Abdi negara dan sekarang circle gue di calon abdi negara, gue ngerasa hidup gue akan muter muter di circle yang sama. Lingkungan gue bakalan penuh dengan abdi negara. Sedangkan gue nggak mau dengan keadaan itu. Gue abdi negara, tapi bukan berarti circle gue cukup dengan abdi negara juga kan?

Kalo lo yang ada di kampus lain, lo dengan temen lo atau siapapun di organisasi lo, nggak akan tau ke depan mau jadi apa. Bisa jadi CEO, pengusana, abdi negara, dokter, konsultan, jaksa, dll. Lo bisa dengan gampang relasi lo melebar. Tapi dengan gue begini, gue nggak bisa. Circle gue balalan stuck di abdi negara doang.

Mungkin tiap manusia bakalan berbeda pilihan. Itu hal wajar. Semua ada pandangan dan kebutuhan masing-masing. Pun dengan gue.

Gue bukan berarti nggak akan kontribusi untuk kampus. Gue tetep berpartisipasi untuk kampus dalam hal kepanitiaan event. Tapi tidak semua event gue ikutin.

Gue sih buat ini di waktu yang salah karena feel buat nulis ini gak ada. Emosi di tulisan ini juga kayaknya nggak ada hehe

Tapi apapun itu, bukankah sebaiknya saling menghargai dengan keputusan masing-masing?

Dandelion 17 | Perjalanan (hidup)


Mungkin akan terdengar melebihkan atau mungkin kamu hanya menganggap bahwa aku pencitraan dalam menuliskan. Tidak. Aku hanya menulis terkhusus untuk dokumentasi hidup hingga suatu saat nanti ketika membaca aku seperti berlakon lagi.

Bertemu dengan orang baru itu ada lebih dan kurangnya. Bergantung dari kita berlaku seperti apa. Mau berlaku supportif atau bahkan apatis. Terserah. Tapi untuk sekarang dan ke depan, aku ingin cipta diri menjadi anak yang terbuka—dalam hal ilmu dan pengalaman kehidupan.

Di kereta senja utama, aku duduk berdampingan dengan pak tua—begitu cucunya menyapa. Pak tua yang menyebutkan dirinya Pak e itulah aku belajar makna hidup versi dia. Dari yang merantau dari tahun 1972, bertemu dengan Mamak e yang kemudian terpaksa terpisahkan karena takdir menghendaki mereka untuk senantiasa mendoakan dari jauh. Sikap dan prinsip pak e yang tangguh dan kerja keras berhasil menghantarnya menjadi seorang yang berada. Segala kebutuhan dapat terpenuhi olehnya. Termasuk anak-anaknya yang berjumlah lima.
"Semua alhamdulillah sudah aku buatkan rumah sendiri-sendiri, Nduk," begitu tuturnya dengan bangga.

Berlanjut mengenang kisah asmara dengan istrinya sampai berlinang air mata karena tidak tahan mengenang begitu rindu akan sosok perempuan yang dulu selalu berdampingan. 

Mamak e yang digambarkan adalah sosok yang pekerja keras pula, salah satu yang aku suka, "Mamak e itu gak pernah minta uang ke Pak e, gak pernah yang 'Pak e wis bayaran durung'," katanya dengan mata berlinang.

Setelah menyelami kehidupan Pak e, aku berpisah di stasiun klaten dan meladan melanjutkan diri ke Solo bertemu teman lama—Sintiya dan Acan.

Kamis, 13 Desember 2018

Dandelion sekian— Standaritas

Udah lama banget nggak nulis blog. Dini hari di tengah makrab yang dingin ada hal yang bikin triggered buat nulis.

Standaritas "kagum"

Dapat pertanyaan begini, aku jadi mikir juga. Kagum...
Di samping karena orangnya emang gak terlalu mikirin orang, tapi ada beberapa hal yang buat susah kagum tanpa ada hal khusus yang bikin kagum.
Mungkin buat orang, "MasyaAllah dia hebat banget ngelukisnya."
"Waw, kok bisa sih sampai begini?"
Tapi mungkin belum tentu berlaku untuk oranglain juga.

Standaritas, nah mungkin itu penyebabnya.
Semakin banyak hal yang terbuka, semakin tinggi standaritas buat kagum.

Bukan berarti kita "gampangke" atau meremehkan. Tapi ada hal tertentu yang membuat itu "biasa". Semoga mengerti yang aku maksud :)

Terus standar kagum lo gimana?

Standard kagum itu hal yang gak bisa kita lakukan atau miliki.
Benar, tapi kalau terlalu banyak melihat hal yang sama, kadar kekaguman itu akan berkurang.

Di samping itu juga, antara melihat lingkungan dalam dan lingkungan luar interest nya condong ke lingkungan luar.
Mungkin ada beberapa orang yang kenal aku akan mengerti karena tidak ada asap kalau tidak ada api.
Sekali lagi, bukan berarti kita menganggap remeh hal yang ada di dalam, tapi ada sebab muabab, faktor interest itu ada di lingkungan luar.

Kamis, 11 Oktober 2018

Dandelion 15— Harga

"Kalo lo ingin dihargai sama orang lain, maka lo harus menghargai diri lo sendiri!"

Entah kenapa, gue ke triggered dengan kalimat ini. Ini bukan kalimat aneh atau jarang kita dengar, bahkan sering kali kita mendengar, bukan cuma dari motivator handal yang bayaran mahal, tapi mungkin bagi lo—kita kalimat itu kalimat remeh. Biasa.

Tapi,
Gue selalu ngerasa nyesel dengan perkara meremehkan. Biasa aja kali. Ya kan udah biasa ngedengernya. Nggak usah dilebih-lebihin lah.
Dsb.

Makna dibalik kalimat itu. Sejuta makna coy!

Bukan perkara balik dihormati layaknya raja, tapi perkara lo memperlakukan diri lo sendiri. Milik lo sendiri, aset lo sendiri. Yang bahkan sampe lo tua bahkan mati tetep nempel di tubuh lo. Iya gak?

Lo dengan segala kenaifan lo, selalu rasionalisasi diri lo dengan alibi-alibi yang kadang diluar akal sehat lo.

"Ya kan orang lain juga gitu kok."
"Alay."

Contoh kecil aja, pengucapan, maaf, permisi, terimakasih, dsb.

Pernah lo ucapin ke diri lo sendiri?

Maaf ya kaki, tadi kubawa lari sampe nyandung batu.
Maaf ya tangan tadi buat makan makanan yang masih panas.
Maaf ya lambung, karena tadi asik baca watpad sampe lupa makan.
Makasih ya mata udah bisa fokus liat materi dosen.
Makasih ya otak, udah nahan kantuk pas kuliah.

Ya gimana mau lo ngomong ke orang kalo lo nggak pernah ngomong ke diri lo sendiri?

Ya masa ngomong sama diri sendiri? Gila dong.

Kata siapa?
Bukannya self talk malah bagus buat kesehatan jiwa. Artinya, buat tubuh lo layaknya oranglain buat lo. Yang mau gimana pun, dia juga bisa ngerasa sakit.

Kalo lo disakitin oranglain aja, lo bisa protes. Nah kalo lo disakitin sama diri lo sendiri? Lo protes sama siapa? Sama rumput yang bergoyang? Ngaco aja lo.

Ya pokoknya, ini bukan cuma buat lo doang, tapi buat gue juga, yang suka banget khilaf, bahkan ngeremehin hal yang kadang gue nggak bisa kalkulasi seberapa besar kesalahan gue buat tubuh gue sendiri.
Dan belum lagi perlakuan gue ke oranglain yang buat merasa orang itu dirugikan. Selfreminderlah. Instropeksi juga.

Kamis, 04 Oktober 2018

Dandelion 14— Selangkah Lebih Maju

Musim-musim yudisium. Tiap buka IG, instastory penuh sama anak-anak yang lagi ngerasain yudisium. Entah buat temennya, adek tingkat, sampai kakak tingkat. Sampe ada yang snapgram nya titik-titik saking banyaknya. —itu duit buat beli bunga abis berapa? Wkwk.

Beberapa minggu lalu, pas ambil buku di kos nya Kak Vere, kak Vere sempet bilang, "dateng ya ke yudisiumku tanggal 2 Oktober." Kujawab dong, "insyaAllah, Kak." Eh taunya pas hari H ada kelas sampe sore. Nggak bisa datang.

Dari situ, biar dikira ngerayain yudisium juga. Aku posting dong foto-foto ucapan yudisium, hehe. Mulai dari bagus, kemil, sampai kak Vere dan kak Ima.
Pas nyari-nyari foto yang ada Kak Vere sama Kak Ima, jadi flashback 4 bulan yang lalu, tepatnya awal Mei—eh kalau dihitung awal ketemu mah pertengahan April.

Pas ketemunya nih, di ruang rapat dosen Akuntansi. Awalnya baru Kak Paleva yang datang, ya udah cukup familiar sih sama kak Paleva karena beberapa kali ketemu, cuma ga terlalu kenal dulu, terus kak Ima, yang dulu kayaknya masih bolak-balik ke perpus juga karena dia PKL nya dapat perpus, baru kemudian Kak Vere datang karena baru selesai kelas.

Bok, pertama kali liat kak Vere masuk, takut wkwk. Dalam hati, "Kating nih, kok lumayan serem." Hehe kalo kak Vere baca, mon maap ya Kak. Pokoknya gitu deh, judes, jutek, gitu gitu.

Tapi pas selesai pra-presentasi, keluar ruangan buat nunggu isi form, ngobrol juga kita-kita, eh ternyata, kak Vere gak sebegitu serem euy hehe. Malah ramah banget, serius, ramah orangnya. Kocak.

Terus pas mau berangkat, ada moment dimana kak Vere ngajak-ngajak buat bawa koper aja donggg! Karena kak Vere sama kak Ima kan bawa buku, jadi gak cukup gitu kalau bawa tas, meskipun akhirnya kak Ima bawa tas juga gak pake koper.

Terus makin lama, makin deket, makin nyambung, saling support, dsb. Pokoknya makin kenal gitu satu sama lain.

Hari pertama di Pontianak, ditemenin, di support pas presentasi, dicatatin segala note dari Juri, di kasih saran dan kritik sebelum presentasi yang baik. Pokoknya i love you deh kating ku terbaeq semua :))

Hari kedua, mereka yang bekerja. Tapi apalah daya, badan drop—demam, jadi seharian ada di kamar. Tapi sorenya alhamdulillah fit lagi. Bisa support mereka sampe final sampe akhirnya juaraaaa!!
Mereka yang juara eh kita-kita kecipratan foto sama dapat traktiran dosen plus KaJur dong hehe. Semeja makan sama Kajur, dosen-dosen kapan lagi coba ya kan? Hehe.

Hari ketiga itu, cukup buat deg-deg an karena malamnya ada gala dinner—closing—penyerahan hadiah.
Sebelum berangkat, aku sama Dewi gedor-gedor kamar kak Ima sama Kak Vere, udah pencet-pencet bel bikin berisik pokoknya. Sabodo amat udah bikin berisik, kamar kating pula. Astagfirullah wkwk. Masuk-masuk ngeliat merela lagi dandan, eh malah disuruh make lipstik. Akhirnya dipakein sama kak Ima, katanya biar bibirnya nggak pucet. Ya gimana ya Kak. Keadaan nih.

Sampai di venue acara. Ini yang bikin ngakak. Kita-kita yang kelaparan, langsung bagi-bagi tugas buat nyobain semua makan khas pontianak. Banyak, tapi lupa namanya apa aja:( sampai kenyangnya masyaAllah deh.

Pas akhir acara... Mungkin belum waktunya kali ya buat juara, jadi ngerasa nyesel gitu pas nama gak tersebut. Sempet nangis—tapi alhamdulillah pas ditanya sama dosen kenapa nangis, diback up sama kating sakitnya kambuh, padahal itu tolong nangisnya udah bener-bener nangis wkwk. Di kasih wejangan, nasihat juga sama Kak Ima, Kak Paleva. Pokoknya segala macam nasihat. Makasih ya Kak :")

4-5 Hari di Pontianak pokoknya udah jadi pelepas penat yang nano-nano banget. Seneng—ada, keluar pulau gratis euy, hehe. Tapi tanggung jawab juga ada. Ini yang utama. Gimana caranya kita pertanggung jawabin amanah dan fasilitas yang diberikan, meskipun Allah berkehendak lain, seenggaknya kami sudah berusaha penuh. Setidaknya begitu kata dosen dan kating :")

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, selangkah maju atas mimpi dan jawaban selama ini.
Semoga dengan adanya ini dapat memicu prestasi-prestasi yang lain. Aamiin Ya Rabb.

Mohon doanya.

Sabtu, 15 September 2018

Dandelion 13 — Nostalgia karena Gian Sanjaya

Udah lama nggak nge-Blog lagi.
Tulisan pertama di semester 3, semoga semakin konsisten lagi buat nulis-nulis nggak jelas yang kadang suka nyinyir begini.

Hari ini cukup istimewa,
Pagi-pagi yang biasanya anti masuk di hari Sabtu, tapi semester ini dapat bagian jadwal hari Sabtu, 2 mata kuliah dan di mulai pagi-pagi banget! Jam 07.30. Bisa dibayangin, weekend masuk kuliah dan.. pagi! Hm.

Tapi ya meskipun ngantuk-ngantuk gitu, yaudah nggak sih, nikmatin aja. Nikmatin nahan ngantuk padahal mata udah mau merem aja bawaannya. Pulang kuliah, sempetin buat nonton semifinal karena The Minions main hehehe.

Tapi... yang paling spesial pake tiga telor adalah malam hari nya bisa nge moderatorin sharing motivasi di komunitas sharing jurusan yang narasumbernya keren parah!

Dia ini emang bisa dibilang inceran udah lama selain Michael Gilbert. Kagum gitu. Namanya Gian Condana Sanjaya.

Dia kemarin baru dapat emas di International Mathematic Olympiad. Dia emang bukan orang pertama, tapi kalau aku pribadi emang suka kagum sama orang-orang yang seperti itu. Punya harapan—Impian, sampai akhirnya dapat mewujudkan.

Nggak semua orang bisa! Dan aku kagum yang seperti itu.

Berbicara mengenai orang-orang yang pinternya sebangsa Gian. Melalui facebook aku mengenal banyak hal. Mengenal bagaimana caranya menjadi seperti mereka.

Sepandaganku, dulu group-group facebook—terutama dalam group edukasi— sekurun waktu empat tahun aja sudah ada tiga fase. Bisa dibilang fasenya menurun.

Tahun 2015, ingat betul—karena tahun-tahun itu baru mengenal bagaimana memanfaatkan sosial media sebagai alat pembelajaran. Ya meskipun dulu sering banget digunain buat nanya PR yang nggak mudeng. Tapi kakak-kakaknya baik parah. Nggak kenal istilah, "Ya bodo amatlah, gue juga nggak kenal lo, ngapain sih gue ngerjain PR lo!"

Inget banget, dulu ada yang namanya Erizka—Sepengetahuan terakhir, dia kuliah di FKG UI via snm, Kak Rumi— Teknik Sipil UNS, Kak Wanda, Kak Iwan, Rijal—anak UNMakasar, Kak Richard, Kak Patria, Kak Sabli—yang nyeret ke group anak-anak olimpiade padahal diri ini jauh dari kata itu alhasil cuma jadi silent reader aja wkwk, dan ada satu lagi lupa namanya, kabarnya dia lanjut kuliah di Jerman, serta banyak banget lainnya.

Pokoknya dulu hampir tiap hari nggak pernah nggak buka facebook. Sekedar nanya PR atau sedikit-sedikit buat belajar juga, nggak jarang emang lebih paham belajar di sana daripada di sekolah yang dulu sering banget remidian kalo ulangan matematika wkwk— Bu DA emang sadis kalo bikin soal, sekelas bisa remidi:(— Jadi tau apa-apa yang terjadi di facebook. Bahkan sempet ada kasus diantara mereka pun juga tau hehehe.

Fase kedua itu, ketika mereka-mereka mulai masuk kuliah dan mulai sibuk di dunia nyatanya mereka. satu-per satu meninggalkan facebook. Paling buka ya sekadar buka nggak sampai yang dulu yang bahkan menghabiskan waktu disana. Fase ini di isi sama Kak Azka— sekarang Alumni ITB, Kak Dean—Alumni Unpad, dan temen-temennya. Kalau ini lebih berisi sharing tentang perkuliahan. Banyak yang nanya dan mereka akan menjawab— ya... meskipun jawabannya sering banget dibumbui bercanda.

Dan terakhir adalah fase saat ini, aku nggak tau ya... fase yang saat ini bisa dibilang penurunannya drastis banget. Di group isinya masih seputar perkuliahan atau terkadang bahas soal—porsinya dikit banget! Tapi bisa dibilang pertanyaan yang mereka tulis itu sebenernya pertanyaan dasar yang semua bisa di googling dengan mudah. Sekarang jamannya internet cuy! Lo facebook an aja bisa, masa googling nggak bisa, kan aneh!

Terus kadang juga greget sendiri sama penggunanya, kadang mereka itu nggak tau porsinya mereka. Ada yang pengen terkenal lah yang suka Sok Kenal Sok Deket sama orang baru, padahal orang di deketin sikapnya biasa aja. Gemes nggak sih, terus kadang suka kelewatan batas—jatohnya malah alay gitu:(

Dari itu semua, aku belajar banyak, aku kenal banyak orang meskipun hanya sekadar kenal. Dan baru-baru ini beberapa dari mereka berhasil buat ketemu langsung. Mulai dari Kak Melani—sekarang jadi wapresmanya FKIP UNS, Alvin dan Bang Indra— anak STIS, Sarrah— UNJ, Rafli—UI, Kak Nata—ITB, dan Kak Wira—PNJ yang dulu satu group di camaba Unpad yang dulu pernah aku tulis di blog juga.

Sosial media bukan sekadar sosial media. Sosial media bukan identik yang kalau kenalan dengan orang baru berdampak pada tindakan kriminal. Buktinya semua bisa bermanfaat kalau kita pun menggunakannya dengan bijak.

Terimaksih, Gian.
Berhasil membuat malam mingguku penuh dengan nostalgia SMA.

Jumat, 10 Agustus 2018

Cerpen— (Bukan) Aksi-Raksi

Baca boleh, plagiat jangan!
Boleh copy asal cantumkan karya.
***
Karya NR Choirun Nisa
***
Bukan berarti semua keinginan akan terus terwujud. Bukan berarti semua jalan akan selalu mulus. Ada kalanya akan penuh dengan kerikil halus— kasar— bahkan bergeronjal. Sama seperti tujuan kita, sekeras apapun kita usaha, kalau takdir tak membawa kita bersama, kita bisa apa?
***
Cuaca terik kali ini lumayan memaksaku untuk berlindung di bawah pohon beringin yang rindang di tengah hamparan padang ilalang. Bukan… ini bukan padang ilalang yang asli seperti di gunung-gunung tiap kali kita mendaki. Ini hanya padang ilalang untuk kepentingan estetika saja.
Mataku beralih ke tumpukan kertas berceceran di depan. Tugas responsi yang di jadwalkan dikumpulan minggu depan, ternyata mendadak harus dikumpulkan besok pagi menjadi alasan utamaku berada di sini. Tak apa… sudah lama pula aku tak mengunjunginya. Susana masih sama, sejuk, sepi, bahkan kenangan kenangan itu masih saja ada.
Ngomong-ngomong soal kenangan. Apa kabar dia yang jauh di sana? Sudah lebih dari tiga bulan tidak memberi kabar sama sekali. Sibuk? Sibuk apa sampai harus tidak sempat mengangkat teleponku, pesan yang aku kirimkan bahkan hanya dibaca saja tanpa ada minat untuk membalasnya. Sudah tdak pedulikah dia? Entah, rasanya sudah tidak ada hak untuk menuntutnya.
**
“Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jangan lupa salat, jangan lupa istirahat. Aku tau semobayan anak teknik kalau ‘belum kena maag bukan anak teknik’, tapi bukan berarti kamu harus kena maag juga. Aku janji untuk selalu berkabar sama kamu. Selalu nyempetin untuk sekadar meneleponmu.”
Aku tersenyum mengangguk. Dia tersenyum manis sekali dengan tak lupa mengelus rambutku yang sudah kutata rapi sebelumnya. Dia menarikku dalam dekapannya. Akupun juga memeluknya sangat erat seolah inilah perpisahan untuk kami. Aku hirup aroma maskulin yang sudah setahun ini aku terbiasa. Kalau ditanya rasanya bagaimana, sudah pasti aku akan mantap menjawab… nyaman!
“Nggak bisa kalau misalkan perginya lusa aja?” suaraku merendah dengan kepala kuhadapkan kepadanya namun posisinya masih sama.
Dia terkekeh pelan, “Mana bisa, Vir! Besok sudah harus bertemu dosen pembmbing untuk penetian selanjutnya. Kamu ada-ada saja.”
Kukerucutkan bibirku seolah aku merajuk. Memang aku merajuk. Aku gagal membuatnya bertahan di sini bahkan hanya untuk dua hari saja. Namun dia dengan sigap memelukku semakin erat dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Aku bakalan kangen banget sama kamu, Dam,” lirihku.
“Aku juga, I love you!”
Tanpa sadar air mataku menetes.
***
Janji itu memang mudah untuk diucapkan tapi tidak untuk dibuktikan.  Percakapan kami sebelum keberangkatannya masih terekam jelas diingataku. Pelukan hangatnya, senyum manisnya bahkan aroma maskulinnya masih aku ingat.
Lamunanku tersadar ketika suara-suara burung gereja terdengar oleh telingaku. Suara itu menandakan bahwa senja akan segera datang. Dan aku sangat tidak menyukainya.
**
“Kamu tau nggak kenapa aku lebih menyukai senja daripada fajar?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaanya membuatku menoleh. Aku hentikan aktivitasku untuk bermain-main dengan rumput ilalan yang kupetik. “Kenapa?”
“Senja adalah peringatan untukku istirahat. Untukku terus semangat bahwa akan ada hari baru yang harus dipersiapkan. Dan untukku terus mengingat bahwa keindahan itu tidak ada habisnya. Senja yang indah akan digantikan dengan bulan dan bintang.”
“Bukannya fajar lebih identik dengan semangat yang baru?” tanyaku tiba-tiba.
“Memang. Tapi fajarlah yang berpotensi untuk meregut semua orang disekitarku. Entah untuk bekerja atau hal lain yang menjadikanku kehilangan, bahkan mungkin nanti fajar akan merebutmu dariku” jawabnya sembari tersenyum.
Aku menerawang ke depan dengan masih bermain dengan ilalang ditangan.
“Kita nggakbisa generalisasi sesuatu dengan alasan yang sama, Dam. Bahwa semua ada alasan spesifik yang mungkin menjadikannya berbuat demikian. Toh bukan fajar atau senja tapi kitalah yang menyebabkannya. Manusialah yang lebih buruk dari itu semua.”
Dia tersenyum dengan lengan kirinyasetengah memelukku. Dia kecup keningku pelan. Aku menikmatinya, kupejamkan mata dan membawa keindahan ini bukan sekadar moment sementara melainkan selamanya.
***
Toh perkataanku benar kan, Dam? Bukan fajar yang jahat bahkan senja yang kamu banggakan dulu juga tidak ada sangkut-pautnya dengan kepergian seseorang. Semua memang ada peran, tapi bukan mereka. Kamu yang memilih untuk pergi, kamu yang memilih untuk tidak disini, pergi dengan rutinitasmu yang segunung tanpa tahu dan sadar bahwa aku butuh kamu. Sekadar kepastian bahwa kamu baik-baik saja iitu sudah cukup bagiku.
Aku meringis—sakit jika membayangkan peristiwa itu kembali. Bukan hanya peristiwa itu tapi peristiwa-peristiwa lain kita di sini. Banyak hal yang kita lalui bersama, senyum, tawa, dekapan, kecupan hangat yang selalu membuatku tenang. Tetapi kini, semua seolah pecah menjadi puing-puing ingatan yang entah sampai kapan akan bertahan.
“Mungkin inilah saatnya aku menyerah, Dam. Percuma jika hanya salah satu pihak saja yang berjuang tapi kamu enggak. Aku tak tau seperti apa kamu, dengan siapa kamu, bagaimana kabarmu sekarang. Aku bukan lelah untuk mencintaimu. Hanya saja bolehkan kalau perasaan seseorang itu akan lelah jika diabaikan? Aku lelah, Dam. Iya… benar-benar lelah tanpa kepastian.”
Tanpa sadar air mataku menetes. Sudah berulang kali sejak tiga bulan yang aku menahan sakitnya menunggu. Aku terus berpikir—menguatkan bahwa besok kamu pasti memberi kabar. Tapi apa akan terus begitu? Aku lelah, Dam. Sungguh, aku tidak tahan.
Kutenggelamkan wajahku dalam telungkup tangan. Aku sudah tidak tahan untuk menangis. Sakit yang terpendam memang seperti bom Molotov yang siap kapan saja akan meledak. Dan saat inilah, bom itu meledak.
“Adam! Kamu jahat, Dam! Hiks….”
“Vir….”
Aku mendengar suara yang memanggil namaku. Seperti suara Adam. Iya… Adam. Tapi…, mana mungkin Adam ada di sini. Apa karena aku memikirkannya baru saja menjadikanku halusinasi bahwa Adam ada di sekitarku sekarang?
“Vira….”
Kuangkatkan kepalaku mencari sumber suara itu berasal. Aku menghela napas. Benar saja, itu Adam. Adam ada di sini setelah sekian lama tidak memberi kabar. Dia berjalan mendekatku lalu duduk di sampingku tanpa memberikan sapaan. Aku tersenyum miris.
“Maaf…,” ucapnya lirih dengan pandangannya tetap ke depan.
Aku tidak tahu lagi harus merespon bagaimana. Aku masih terpaku atas kedatangannya di sini sekarang. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba dia datang seenaknya tanpa memberi kabar sama sekali.
Aku menghela napasku sekali lagi sekadar menyuntikan kembali kekuatan yang tiba-tiba saja menghilang.
“Maaf buat apa, Dam?” ucapku sambil menatapnya.
Kami saling tatap. Lama untuk kami saling selidik antara apa yang harus dijelaskan. Pancaran matanya redup untuk ukuran ketika kami sedang bersama dahulu. Aku cukup sadar diri untuk itu. Dan itu cukup untukku tau kabar dia sekarang. Aku memutus kontak pandangan dengan matanya dan menunfukkan pandangan.
“Maaf buat semuanya, Vir. Maaf buat kamu menunggu selama ini. Dan mungkin kamu sudah tau apa yang terjadi dengan aku sekarang. Ya.. aku minta maaf, aku sudah ada penggantimu Vir. Aku nggak tau kapan rasa itu muncul.  Kita berawal dari teman, dan rasa nyaman itu tiba-tiba muncul tanpa aku kendalikan. Kamu tau kan cinta bahkan tak butuh alasan. Sesederhana itu aku memilihnya,” ucapnya.
Aku cukup kaget dengan jawabannya baru saja. Air mataku menetes kembali tanpa aku bisa bendung lagi. Bagaimana mungkin dengan mudahnya dia meminta maaf atas kesalahannya yang mungkin dianggap hanya kesalahan kecil saja? Bagaimana mungkin dia bersikap seolah biasa-biasa saja tanpa tahu dan sadar bahwa ada seseorang yang rela tidak tidur hanya untuk menanti kabarnya? Bagaimana itu bisa terjadi?
Aku mengumpulakn ceceran kertas responsiku yang tersebar. Kumasukan dengan asal ke dalam tas hitamku lalu bersiap untuk meninggalkan.
Namun tangannya menahanku untuk tetap bertahan. Aku menghela napasku sekali lagi dengan tanpa membendung air mataku untuk berhenti.
“Aku minta maaf, Vir,” lirihnya.
“Nggak perlu ada maaf, Dam. Toh semua juga sudah terjadi. Bukan kesalahanmu mungkin untuk melakukan ini. tetapi kesalahanku juga yang belum bisa jadi apa yang kamu mau. Yang belum bisa jadi membuat nyaman sampai nggak perlu ada orang lain di sekitar kita. Percuma kalau misalkan dalam hubungan kita hanya salah saja yang berjuang, kamu sudah ada penggantiku disana yang bahkan jauh lebih baik dari ku sekarang. Aku juga lelah, Dam. Bahkan lebih lelah daripada kamu,” ucapku dengan nada rendah namun penuh penekanan.
Dia bergeming tanpa sedikitpun balasan. Aku lepas tanganku yang digenggamnya.
“Aku menyerah, Dam untuk kita. Terimakasih untuk semuanya. Dan terimakasih untuk senja terakhirnya,” ucapku  lalu kulangkahkan pergi meninggalkannya sendiri.
Sungguh ini diluar perkiraanku semula. Aku pikir aktivitasnya disana merebutnya atas perhatian dariku. Tapi lebih dari itu. Bukan aktivitas atau organisasi, bahkan lebih buruk dari itu semua.
Aku memang lelah, tapi bukan berarti aku akan terus menatapnya walau keadaanya sudah begini bukan? Bagaimana mungkin aku berjuang sendiri tanpa ada aksi-reaksi yang timbul. Kalau ditanya soal sakit hati atau tidak. jelas pasti akan sakit hati. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur.
Aku seka air mataku yang masih menetes. Aku tahan untukku tidak terisak kembali olehnya. Olehnya yang bahkan  telah berganti jalan tanpa aku sadari. dan dengan bodohnya aku berharap bahwa kita akan tetap berjalan beriringan. Aku hela napas panjang dan melangkah lagi.
Mungkin bukan kemauan kita atau mungkin itu lebih aku sendiri untuk berpisah, Dam. Tapi bagaimanapun, sekeras apapun kita berusaha untuk tetap bersama. Tapi takdir tak memungkiri bahwa kita akhirnya akan berpisah seperti ini. Terimakasih atas moment yang tercipta antara kita. Biarkan dan izinkan aku untuk sekadar menyimpannya dan berharap semua akan baik-baik saja.[]

Minggu, 05 Agustus 2018

Dandelion 12— Qanaah!

Seberapa besar uang bagi hidup lo?

Pernah denger ungkapan, "Hidup untuk uang atau uang untuk hidup?". Pernah berpikir nggak kalau uang itu sebenernya buat apa sih?

Dikit-dikit uang. Pendidikan butuh uang; kos butuh uang; status butuh uang; jangan-jangan sampe harga diri lo ukur dengan uang juga?

Na'udzubillah.

Sampai sekarang aku masih belum ngerti, kenapa sih selalu uang menjadi tolak ukur. Kaya atau tidaknya seseorang diukur dari uang yang ia punya. Berani berapa lo?
Ujian mandiri pertaruhan adalah uang. Yang berani bayar lebih besar yang akan lolos ke perguruan tinggi. Emang uang bisa buat orang pinter?

"Lah, buktinya yang bisa bimbel bisa lolos PTN!"

Penelitian darimana lo kalau semua itu berkat uang? Oke, alat tukar sekarang adalah uang. Tapi bukan berarti, "Gue pengin pinter, gue beli 'pinter' ya biar bisa masuk kuliah!"

Salut gue.. salut buat orang yang bikin iklan! Dan lo.. bodoh!
Percuma woy, lo mau bayar berapapun, berapa besarnya kalo lo gamau usaha, ga ada niat juga percuma. Pinter atau enggaknya itu bergantung dari niat lo yang mau serius belajar apa enggak.

Terus nih, masalah kos-kosan.
Terus terang, gue gamau ngebikin romantisasi ala-ala drama korea. Tapi lama-lama bikin jengah, apalagi udah viral sampai ke anak SMA yang mulai mengubur mimpinya.

Sekarang aku tanya, lo ngekos tujuannya buat apa? Istirahat, tidur, belajar kan? Nah dari tujuan lo, yang lo butuhin apa? Tempat tidur, almari, meja belajar. Standard, tapi itu cukup!

Cukup! Cukup itu standarisasi bahwa dengan itu tujuan lo tercapai kan? Kenapa mesti dilebih-lebihin yang harus ada inilah dan itulah.

Gue tadi sore cukup tertampar dengan omongan orang. Uang lagi-lagi menjadi tolak ukur dimana kepuasan itu berada. Yang nyaman itu harus ada X, Y, dan Z. Padahal tanpa itu semua tujuan lo kecapai!

Jalan pulang, yang suasana kampus emang lenggang karena musim liburan. Kata-kata bapak mulai timbul, "Sesekali itu lihat ke bawah, Nduk. Ada orang yang nggak seberuntung kamu tapi mereka senang. Qanaah!"

Qanaah! Merasa cukup dengan apa yang dimiliki.

Cukup, itu.

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020? Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama. Tiga t...