Mungkin akan terdengar melebihkan atau mungkin kamu hanya menganggap bahwa aku pencitraan dalam menuliskan. Tidak. Aku hanya menulis terkhusus untuk dokumentasi hidup hingga suatu saat nanti ketika membaca aku seperti berlakon lagi.
Bertemu dengan orang baru itu ada lebih dan kurangnya. Bergantung dari kita berlaku seperti apa. Mau berlaku supportif atau bahkan apatis. Terserah. Tapi untuk sekarang dan ke depan, aku ingin cipta diri menjadi anak yang terbuka—dalam hal ilmu dan pengalaman kehidupan.
Di kereta senja utama, aku duduk berdampingan dengan pak tua—begitu cucunya menyapa. Pak tua yang menyebutkan dirinya Pak e itulah aku belajar makna hidup versi dia. Dari yang merantau dari tahun 1972, bertemu dengan Mamak e yang kemudian terpaksa terpisahkan karena takdir menghendaki mereka untuk senantiasa mendoakan dari jauh. Sikap dan prinsip pak e yang tangguh dan kerja keras berhasil menghantarnya menjadi seorang yang berada. Segala kebutuhan dapat terpenuhi olehnya. Termasuk anak-anaknya yang berjumlah lima.
"Semua alhamdulillah sudah aku buatkan rumah sendiri-sendiri, Nduk," begitu tuturnya dengan bangga.
Berlanjut mengenang kisah asmara dengan istrinya sampai berlinang air mata karena tidak tahan mengenang begitu rindu akan sosok perempuan yang dulu selalu berdampingan.
Mamak e yang digambarkan adalah sosok yang pekerja keras pula, salah satu yang aku suka, "Mamak e itu gak pernah minta uang ke Pak e, gak pernah yang 'Pak e wis bayaran durung'," katanya dengan mata berlinang.
Setelah menyelami kehidupan Pak e, aku berpisah di stasiun klaten dan meladan melanjutkan diri ke Solo bertemu teman lama—Sintiya dan Acan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar