Selalu mengagumkan cara Allah memberikan pesan.
Secara kebetulan—mungkin tidak benar-benar kebetulan— karena tidak ada yang namanya kebetulan di dunia. Semua telah ada aturan, dan itu berasal dari Allah semata.
Tadi malam, mungkin bukan perkara baru untuk mendapatkan pertanyaan dari anak SMA yang mengkhawatirkan mimpinya. Pun pagi ini, perkara yang sama akan masa depannya.
Mungkin bukan kapasitas gue buat ngomong, cuma kalau boleh mengutarakan pendapat dan pengalaman setahun ini, gue bakalan coba.
Setahun gue berada di sini. Beradaptasi, usaha yang bukan berarti, "Kan lo udah lulus di kampus X tuh, otomatis gampanglah buat lo survive di sini." HAHA jujur, gue meringis. Gak semudah itu, teman :)
Pagi ini, gue mendapati kasus yang sama—setahun lalu. Perkara harapan dan realita yang mengharuskan berbeda jalan. Tapi bagi gue, bukan perkara sulit untuk terus direnungi.
Semua orang mendambakan masa depan yang baik, bukan? Mengangkat derajat orangtua, membahagiakan, mewujudkan mimpi dan cita-cita mereka. Tapi apa itu satu-satu jalan?
"Ya gimana, gue telanjur usaha buat dapatinnya. Sia-sia nggak sih kalau misalkan dilepas begitu aja."
Hehehe, lo bakalan ngomong gitu, karena masih tahap awal melepas. Gue juga begitu, dulu. Dan sekarang mungkin masih tahap merangkak untuk sampai berdiri—berjalan—kemudian berlari. Gue nggak nyalahin lo, karena itu masuk ke dalam proses di mana setiap manusia bakal lewatin proses itu, meskipun dengan cara berbeda.
Gue nggak tau, gue musti patut bersyukur atau tidak dengan keputusan yang gue buat setahun silam. Kuliah di sini mungkin berbeda impian gue dulu. Tapi kalau ditanya cita-cita hidup gue? Enggak.
Gue dulu pertimbangin banyak, terutama mengenai cita-cita. Selagi masuk dalam daftar yang mendekatkan cita-cita kenapa bilang enggak buat diambil.
Setahun ini, gue banyak belajar. Terutama tentang artinya bersyukur dan tentang realitas, "Ridho Allah bergantung kepada Ridho Orangtua." Gue bahkan secara tidak sadar pernah menantang Allah, tunjukkan ya Allah jikalau ini adalah keputusan yang benar. Dan itu dijawab Allah di bulan Mei kemarin. Subhanallah. Nikmat manalagi yang kamu dustakan?
Gue seperti ini, bukan inisiatif gue sendiri. Gue seperti ini karena keadaan yang memaksa gue buat ubah persepektif tentang cita-cita dan usaha. Gue ubah fokus gue bukan cuma satu jalur. Gue belajar banyak dari orang-orang yang secara baik Allah tunjukkan.
Gue belajar perkara sukses masa depan bukan bergantung dari mana almamater yang lo kenakan. Terlalu naif kalau lo menggeneralisasi orang-orang sukses itu berasal dari kampus terbaik. Menjadi 'orang' karena bentukan kampus. Oke, lingkungan berpengaruh, tetapi kembali ke diri sendiri, bukan? Bergantung diri lo sendiri mampu nerima atau enggak.
Kalau lo mau sedikit saja mundur dan gerakkin mata, lo akan bertemu orang-orang yang berlatar belakang berbeda sukses dengan berbagai cara tapi sesuai cita-cita. Mau taruhan? Hehe, jangan ah dosa. Buktikan saja.
Mungkin benar, emosi lo masih meluap karena uforia pertama. Tapi otak rasional lo masih bekerja, kan? Lo sudah bukan anak kecil yang musti diajarin menggunakan otak. Sudah saatnya berpikir. Karena lo yang bakalan ngejalanin hidup lo sendiri.
Semester awal gue mungkin sering bilang, "seandainya.. seandainya.." mungkin lo juga bakal alami masa-masa itu. Tapi yakin, berlalunya waktu bakal ngelatih diri lo untuk menerima.
Bercukuplah, bersyukurlah.
Mungkin oranglain nggak bakal ngerasain ini. Susah? Iya. Tapi apa orang tidak pernah punya perkara yang pokok intinya sama? Tidak. Jangan naif, kalo lo menganggap bahwa yang susah adalah diri lo sendiri. Karena manusia bukan cuma lo dan orang-orang yang lo kenal.
Sudah saatnya lo keluar dari zona nyaman. Ada kalanya lo melihat, sukses itu banyak definisi dan jalan cita-cita itu penuh persimpangan.
Selamat berstrategi, merencanakan bagaimana lo mengahadapi kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar