Sabtu, 28 April 2018

[Dandelion 9— Mimpi]

"Lu kenapa sih suka banget update tentang impian?"
"Mimpi lo jauh banget dah!"
"Sadar diri aja, neng!"

Pernah nggak sih dapat seletingan kayak gitu. Atau enggak, pas lagi update snapgram, story whatsApp suka ada yang ngomentarin tentang mimpi lo.

Kata Bapak Presiden Soekarno sih, "Bermimpilah setinggi langit, kalaupun gagal masih jatuh di antara bintang-bintang."

Dan itu gue percaya banget!

Kenapa sih lo harus se positif thinking itu? Kenapa sih lo optimis banget.

Well, gue-lo-dia punya Allah yang segalanya. Lo mau minta apa aja, insyaAllah dikasih kok. Karena setiap doa yang dipanjatkan umat-Nya, Allah cuma ngasih 3 pilihan ini :
- Dikabulkan
- Ditunda waktu yang tepat
- Diganti yang lebih baik

Gue sendiri pernah diremehin, "lo gak bakal dapat deh. Berat! Gak usah tinggi-tinggi kalau mimpi. Lo anak siapa dah." Terus pakai tatapan ngeremehin gitu.

Tapi yaudahlah, terserah.
Gue mau update tentang mimpi, tentang orang yang gue kagumi, itu hak gue kok. Ya maaf kalau misalkan postingan gue ganggu. Tapi itu cara buat gue sadar bahwa mimpi harus patut diperjuangkan.

Gue-lo selalu ditunggu orangtua buat wujudin mimpi yang selama ini ada di angan-angan.

Selasa, 17 April 2018

[Dandelion 8— Menjawab...]

Ini tulisan sebagai jawaban tulisan yang pernah aku tulis di timeline Line sekitaran bulan Agustus tahun kemarin.

Jadi, sekitaran bulan Juli-Agustus, banyak banget nyinyiran sampah yang masuk ke telinga. Sombong amat lu nganggap itu sampah wkwk. Ya gimana enggak coba, udah nggak tau lagi harus gimana.

Sekitaran bulan itu, ada di line today, instagram, facebook, ask.fm berita tentang anak SMA 8 yang cabut SNMPTN di salah satu institut terkemuka di Indonesia karena dia berhasil lolos di salah universitas bergengsi di Singapura. Ya kalau aku sih juga bakal lakuin hal yang sama ehehe.

Masih menyangkut itu, di timeline Line, kebetulan karena saking gabutnya nunggu perkuliahan dan di kos nggak ngapa-ngapain, baca-baca tuh artikel yang di like oleh temen-temen. Ada satu yang menarik, aku lupa siapa yang nulis, tapi masih inget banget artikelnya tentang salah satu murid yang juga cabut snm dari sekolah berbeda di kampus yang sama—iyalah inget, orang sempet debat juga kan lo wkwk. first time, debat sama kakak tingkat wkwk.

Di artikel itu, kayak nyudutin bahwa yang dilakukan oleh siswa tersebut salah. Hello, semua keputusan ada pertimbangan, ada alasan dan ada harapan. Lo pikir keputusan cuma asal cap-cip-cup kayak jawab soal ujian? Hm.

Nah..
Kesempatan ini, aku mau jawab tantangan kakak dulu. ehehe

Hari ini, tepat jam 17.00 tadi pengumuman SNMPTN telah keluar. Ada yang hijau, ada yang merah, ada yang senyum, ada yang marah, dan tentu ada air mata—entah itu di terima atau tidak.
Aku cukup merasakan bagaimana rasanya, karena masih jelas banget keinget gimana deg-deg an buka pengumuman sendiri, diluar hujan, petir nya gede. Pas tau pengumuman, langsung nangis bener-bener nangis.
Dan sore ketika orangtua pulang, tau kabar pengumuman anaknya diterima, wajarnya orangtua bakal seneng dong, tapi kali ini? beliau cuma diem doang. Iya diem. Perasaan nya sebagai anak gimana? Ancur kan!

Di samping itu, pas banget masa-masa melepas, ada artikel itu mucul. Mereka nyinyir sesuka hati mereka, mereka berdoa sesembarang mereka tanpa tahu rasanya seperti apa.

Perasaan lo gimana?
Marah? Jelas.

Kayak pengen teriak di depan mukanya, udah gak ada peduli nya beliau adalah kakak tingkat.
Hih, gemes.

Dan untuk tahun ini, aku cuma berharap, udahlah, nggak usah ada hal seperti itu terulang. Itu sakit, bener deh, bikin sakit ati.

Cuma mau berpesan aja,
"Setiap orang berhak menentukan dimana dia akan berpijak di bumi ini, apapun itu, tolong yang menjalani kehidupan adalah dia. Dia yang akan bertanggung jawab kepada dirinya, keluarga, Dan tentu Rabb-nya. Semua nasihat, masukan untuk keputusan itu sudah ia pikir dengan matang, dan untuk langkah ke depan pun sudah ada gambaran. Kembali, jangan seolah kamu adalah dalang, kamu bukan hakim yang menghakimi, kamu ya kamu, pengamat tanpa tahu apa yang terjadi sebenernya. Pengamat orang luar."

Dan jawaban tantangannya..
tau kak, aku udah ada bukti bahwa blacklist itu tidak ada.
Terimakasih,

Salam hangat dari bumi bintaro.

Rabu, 11 April 2018

[Dandelion 7— Menjadi Indonesia itu...]


Jadi, pagi ini, sebenernya rencananya mau berangkat pagi ke kampus, tapi kok kasur kayaknya menggoda banget buat disinggahi, alhasil, nangkring dulu lah di kasur sebentar.
Biasanya, kalau nggak baca blog, quora, wattpad, atau nonton youtube. Tapi pagi ini, gue lebih milih nonton youtube.

Nah, pas banget, ada update video nya Kak @Gitasav tetang "Menjadi Indonesia". Video nya tentang respon dari orang indonesia yang dia sekarang ada di luar negeri. Entah kerja atau kuliah, gue gak tau pasti.

Jujur, gue pengin nangis pas nontonnya—Ah! lebay lo, Nis, wkwk. Gak, bukan gitu. Suasananya itu pas banget, apalagi dengan backsound lagu nasional. Seolah nampar gitu, "Lo orang Indonesia kan? Apa yang udah lo kasih buat negara?"

APA?

Jujur (lagi), selama ini kayaknya gue terus nuntut  bahkan sering banget nyinyir tentang Indonesia; ya pemerintahnya korupsi lah, kesenjanganlah, keadilan yang tidak merata lah, rakyatnya yang suka egois banget lah, dan lah-lah lainnya. Jarang banget yang kalau ngobrol bilang, "Gue bangga jadi rakyat Indonesia, yang dengan keberagamannya menjadi kekayaan—aset negara yang tak ternilai, dengan sumber daya nya menjadikan Indonesia inceran bangsa lainnya untuk jua memiliki." Jarang banget nggak sih, atau cuma gue doang? Maybe.

Jadi keinget pas forum diskusi minggu lalu dengan Kak Panji Laksono—Ketua BEM IPB 2017. Ketika dipaparkan jumlah rakyat Indonesia yang bahkan menyentuh angka ±250juta jiwa. Apa kata yang pertama kali terbayang?
Padat,
Kumuh,
Sentral pada satu titik,
Kesenjangan,
dll.

See? Negative semua kan? 

Padahal dengan banyaknya rakyat Indonesia, Indonesia menjadi 'kaya'. Kaya akan suku, kaya akan bahasa, kaya akan budaya. Kita jadi seolah menganggap bahwa Indonesia itu 'salah'. Gue gak tau pasti penyebabnya apa, apakah karena ada 'dendam' dengan salah satu pihak, which is itu yang bikin 'apa yang ada di Indonesia, ya semua salah'.

Oke, balik ke video.
Video itu isinya—menurut interpretasi gue, bagaimana menjadi seorang indonesia di manapun dia berada. Kalau dalam video itu ada respon dari seseorang yang terus membawa budaya unggah-ungguh—tata krama ke kehidupan sehari-hari. Adab ketimuran yang gue sendiri kadang gak peduli—penyebab individualistis. Gue tau ini nggak baik, tapi ada asap kalau gak ada api dong. Kadang itu ngerasa seolah lo udah coba buat ngasih bunga tapi yang lo dapat cuma duri nya. Pernah nggak? Itu yang kadang bikin gue "cuek" terhadap siapapun, pasang muka judeslah, bicara iritlah, dll.

Di video itu juga, mereka—yang ngerespon, bangga banget sama yang namanya Indonesia. Nasionalisme nya gedhe coy! Yang kalau kemana mana, "gue orang Indonesia, lho." yang di implementasi di kehidupan sehari-hari. Kayak tanpa mereka ngomong kalau mereka Indonesia, semua yang ada di sekitar tau, "Oh, ternyata Indonesia itu begini." Sekali lagi. Mereka bangga menjadi Indonesia.

Gue yang saat ini kuliah di biayai oleh uang rakyat, jadi ngerasa lo tuh kuliah udah gratis, udah tinggal belajar aja yang bener, fasilitas udah lengkap. Tapi masih aja males-malesan buat belajar. Gimana lo mau tanggung jawab di akhirat nanti kalau di tanya, "Lo kan kuliah pakai uang rakyat tuh, yang lo dapat di kuliah lo apa?" Kicep.

Kalau, Lo?

Oke, kebetulan gue kuliah yang sepenuhnya dibiayai negara, gue gak menutup kemungkinan buat yang kuliah di PTN atau PTS juga gak di biayai oleh negara. Ada kan yang namanya subsidi? Anggaran APBN jelas kok, bahwa 20% dari anggaran APBN digunakan untuk pendidikan. Kalau ditanya dengan pertanyaan yang sama, "Apa aja yang lo dapat dari bangku sekolah lo?" Lo mau jawab apa?

Satu pertanyaan yang masih mengganjal, "Apa iya, menjadi Indonesia harus pergi dari Indonesia?" Biar bisa ngerasa kangen dulu sama Indonesia baru tuh rasa memiliki Indonesia muncul.

Apa iya?

Bagi gue pribadi, menjadi Indonesia nggak harus sesuai sama teori yang kalau lo jawab soal-soal ujian PKn. Perfect banget kan kalau jawab soal-soal gitu—wkwk. Menjadi Indonesia cukup dengan implementasikan kebiasaan—budaya yang ada di Indonesia dengan baik dan benar. Budaya baik lho ya..

Keberagaman itu pasti ada resiko. Toh apa semua keberagaman bisa memecah? Bukannya semua diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain? Lalu? Mau alasan apalagi untuk tidak bangga dengan negeri sendiri?

At least,
Versi lo, menjadi Indonesia itu apa?

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020? Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama. Tiga t...