Senin, 25 Februari 2019

Dandelion 18 | Internal Vs Eksternal

Kok lo nggak ikut organisasi internal kampus?

Sudah begitu lama memikirkan jawaban atas pertanyaan yang sering diajukan. Mau menjawab tapi belum nemu jawaban. Bukan belum sih, merangkai katanya saja yang sulit.

Sebenernya jawabannya sederhana, "Gue butuh circle yang luas."

Gue butuh yang pandangan yang lebih luas, pandangan dengan berbagai latar belakang, dan ke abstrakan masa depan.

Gue cukup tau dari teman-teman secara luar nya saja, tapi its for me enough. Gue cukup tau untuk atmosfer organisasi kampus seperti apa dan compare dengan apa yang gue dapat dari komunitas eksternal.

Balik lagi, gue butuh pandangan yang berbeda dan circle yang luas. Kalau di organisasi internal gue dapat keduanya, tapi itu menurut gue nggak cukup.

Gue sadar diri sekarang menjadi mahasiswa ikatan dinas yang insyaAllah nantinya akan jadi abdi negara. Circle lo yang lo dapat nanti adalah para aparatur sipil negara, dan itu pasti kan? Sedangkan sekarang, dengan latar belakang yang sama—posisi yang "me-pemerintah" ketika dihadapkan dengan suatu perkara kita akan berpandangan yang sama.

Oke, gue sadar juga manusia tidak ada yang sama. Tapi dengan dasar yang sama—konsep yang sama, pola pikir akan sama bukan?

Dan gue gak cukup dengan itu.

Ini yang mungkin buat gue harus keluar dari zona. Gue nggak mungkin begini terus. Gue nggak mungkin di desak tanpa tahu harus bertindak. Maka dari itu gue gabung di komunitas eksternal.

Di komunitas gue dapat teman -teman dari berbagai kampus, berbagai jurusan, dan berbagai sudut pandang.

Begini, mereka yang  di kampus negeri, mungkin bisa aktif di kampus masing-masing tanpa harus bersusah susah mencari circle di luar. Tapi bagi gue, gue yang nantinya akan berkumpul dengan para Abdi negara dan sekarang circle gue di calon abdi negara, gue ngerasa hidup gue akan muter muter di circle yang sama. Lingkungan gue bakalan penuh dengan abdi negara. Sedangkan gue nggak mau dengan keadaan itu. Gue abdi negara, tapi bukan berarti circle gue cukup dengan abdi negara juga kan?

Kalo lo yang ada di kampus lain, lo dengan temen lo atau siapapun di organisasi lo, nggak akan tau ke depan mau jadi apa. Bisa jadi CEO, pengusana, abdi negara, dokter, konsultan, jaksa, dll. Lo bisa dengan gampang relasi lo melebar. Tapi dengan gue begini, gue nggak bisa. Circle gue balalan stuck di abdi negara doang.

Mungkin tiap manusia bakalan berbeda pilihan. Itu hal wajar. Semua ada pandangan dan kebutuhan masing-masing. Pun dengan gue.

Gue bukan berarti nggak akan kontribusi untuk kampus. Gue tetep berpartisipasi untuk kampus dalam hal kepanitiaan event. Tapi tidak semua event gue ikutin.

Gue sih buat ini di waktu yang salah karena feel buat nulis ini gak ada. Emosi di tulisan ini juga kayaknya nggak ada hehe

Tapi apapun itu, bukankah sebaiknya saling menghargai dengan keputusan masing-masing?

Dandelion 17 | Perjalanan (hidup)


Mungkin akan terdengar melebihkan atau mungkin kamu hanya menganggap bahwa aku pencitraan dalam menuliskan. Tidak. Aku hanya menulis terkhusus untuk dokumentasi hidup hingga suatu saat nanti ketika membaca aku seperti berlakon lagi.

Bertemu dengan orang baru itu ada lebih dan kurangnya. Bergantung dari kita berlaku seperti apa. Mau berlaku supportif atau bahkan apatis. Terserah. Tapi untuk sekarang dan ke depan, aku ingin cipta diri menjadi anak yang terbuka—dalam hal ilmu dan pengalaman kehidupan.

Di kereta senja utama, aku duduk berdampingan dengan pak tua—begitu cucunya menyapa. Pak tua yang menyebutkan dirinya Pak e itulah aku belajar makna hidup versi dia. Dari yang merantau dari tahun 1972, bertemu dengan Mamak e yang kemudian terpaksa terpisahkan karena takdir menghendaki mereka untuk senantiasa mendoakan dari jauh. Sikap dan prinsip pak e yang tangguh dan kerja keras berhasil menghantarnya menjadi seorang yang berada. Segala kebutuhan dapat terpenuhi olehnya. Termasuk anak-anaknya yang berjumlah lima.
"Semua alhamdulillah sudah aku buatkan rumah sendiri-sendiri, Nduk," begitu tuturnya dengan bangga.

Berlanjut mengenang kisah asmara dengan istrinya sampai berlinang air mata karena tidak tahan mengenang begitu rindu akan sosok perempuan yang dulu selalu berdampingan. 

Mamak e yang digambarkan adalah sosok yang pekerja keras pula, salah satu yang aku suka, "Mamak e itu gak pernah minta uang ke Pak e, gak pernah yang 'Pak e wis bayaran durung'," katanya dengan mata berlinang.

Setelah menyelami kehidupan Pak e, aku berpisah di stasiun klaten dan meladan melanjutkan diri ke Solo bertemu teman lama—Sintiya dan Acan.

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020? Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama. Tiga t...