Jumat, 10 Agustus 2018

Cerpen— (Bukan) Aksi-Raksi

Baca boleh, plagiat jangan!
Boleh copy asal cantumkan karya.
***
Karya NR Choirun Nisa
***
Bukan berarti semua keinginan akan terus terwujud. Bukan berarti semua jalan akan selalu mulus. Ada kalanya akan penuh dengan kerikil halus— kasar— bahkan bergeronjal. Sama seperti tujuan kita, sekeras apapun kita usaha, kalau takdir tak membawa kita bersama, kita bisa apa?
***
Cuaca terik kali ini lumayan memaksaku untuk berlindung di bawah pohon beringin yang rindang di tengah hamparan padang ilalang. Bukan… ini bukan padang ilalang yang asli seperti di gunung-gunung tiap kali kita mendaki. Ini hanya padang ilalang untuk kepentingan estetika saja.
Mataku beralih ke tumpukan kertas berceceran di depan. Tugas responsi yang di jadwalkan dikumpulan minggu depan, ternyata mendadak harus dikumpulkan besok pagi menjadi alasan utamaku berada di sini. Tak apa… sudah lama pula aku tak mengunjunginya. Susana masih sama, sejuk, sepi, bahkan kenangan kenangan itu masih saja ada.
Ngomong-ngomong soal kenangan. Apa kabar dia yang jauh di sana? Sudah lebih dari tiga bulan tidak memberi kabar sama sekali. Sibuk? Sibuk apa sampai harus tidak sempat mengangkat teleponku, pesan yang aku kirimkan bahkan hanya dibaca saja tanpa ada minat untuk membalasnya. Sudah tdak pedulikah dia? Entah, rasanya sudah tidak ada hak untuk menuntutnya.
**
“Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jangan lupa salat, jangan lupa istirahat. Aku tau semobayan anak teknik kalau ‘belum kena maag bukan anak teknik’, tapi bukan berarti kamu harus kena maag juga. Aku janji untuk selalu berkabar sama kamu. Selalu nyempetin untuk sekadar meneleponmu.”
Aku tersenyum mengangguk. Dia tersenyum manis sekali dengan tak lupa mengelus rambutku yang sudah kutata rapi sebelumnya. Dia menarikku dalam dekapannya. Akupun juga memeluknya sangat erat seolah inilah perpisahan untuk kami. Aku hirup aroma maskulin yang sudah setahun ini aku terbiasa. Kalau ditanya rasanya bagaimana, sudah pasti aku akan mantap menjawab… nyaman!
“Nggak bisa kalau misalkan perginya lusa aja?” suaraku merendah dengan kepala kuhadapkan kepadanya namun posisinya masih sama.
Dia terkekeh pelan, “Mana bisa, Vir! Besok sudah harus bertemu dosen pembmbing untuk penetian selanjutnya. Kamu ada-ada saja.”
Kukerucutkan bibirku seolah aku merajuk. Memang aku merajuk. Aku gagal membuatnya bertahan di sini bahkan hanya untuk dua hari saja. Namun dia dengan sigap memelukku semakin erat dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Aku bakalan kangen banget sama kamu, Dam,” lirihku.
“Aku juga, I love you!”
Tanpa sadar air mataku menetes.
***
Janji itu memang mudah untuk diucapkan tapi tidak untuk dibuktikan.  Percakapan kami sebelum keberangkatannya masih terekam jelas diingataku. Pelukan hangatnya, senyum manisnya bahkan aroma maskulinnya masih aku ingat.
Lamunanku tersadar ketika suara-suara burung gereja terdengar oleh telingaku. Suara itu menandakan bahwa senja akan segera datang. Dan aku sangat tidak menyukainya.
**
“Kamu tau nggak kenapa aku lebih menyukai senja daripada fajar?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaanya membuatku menoleh. Aku hentikan aktivitasku untuk bermain-main dengan rumput ilalan yang kupetik. “Kenapa?”
“Senja adalah peringatan untukku istirahat. Untukku terus semangat bahwa akan ada hari baru yang harus dipersiapkan. Dan untukku terus mengingat bahwa keindahan itu tidak ada habisnya. Senja yang indah akan digantikan dengan bulan dan bintang.”
“Bukannya fajar lebih identik dengan semangat yang baru?” tanyaku tiba-tiba.
“Memang. Tapi fajarlah yang berpotensi untuk meregut semua orang disekitarku. Entah untuk bekerja atau hal lain yang menjadikanku kehilangan, bahkan mungkin nanti fajar akan merebutmu dariku” jawabnya sembari tersenyum.
Aku menerawang ke depan dengan masih bermain dengan ilalang ditangan.
“Kita nggakbisa generalisasi sesuatu dengan alasan yang sama, Dam. Bahwa semua ada alasan spesifik yang mungkin menjadikannya berbuat demikian. Toh bukan fajar atau senja tapi kitalah yang menyebabkannya. Manusialah yang lebih buruk dari itu semua.”
Dia tersenyum dengan lengan kirinyasetengah memelukku. Dia kecup keningku pelan. Aku menikmatinya, kupejamkan mata dan membawa keindahan ini bukan sekadar moment sementara melainkan selamanya.
***
Toh perkataanku benar kan, Dam? Bukan fajar yang jahat bahkan senja yang kamu banggakan dulu juga tidak ada sangkut-pautnya dengan kepergian seseorang. Semua memang ada peran, tapi bukan mereka. Kamu yang memilih untuk pergi, kamu yang memilih untuk tidak disini, pergi dengan rutinitasmu yang segunung tanpa tahu dan sadar bahwa aku butuh kamu. Sekadar kepastian bahwa kamu baik-baik saja iitu sudah cukup bagiku.
Aku meringis—sakit jika membayangkan peristiwa itu kembali. Bukan hanya peristiwa itu tapi peristiwa-peristiwa lain kita di sini. Banyak hal yang kita lalui bersama, senyum, tawa, dekapan, kecupan hangat yang selalu membuatku tenang. Tetapi kini, semua seolah pecah menjadi puing-puing ingatan yang entah sampai kapan akan bertahan.
“Mungkin inilah saatnya aku menyerah, Dam. Percuma jika hanya salah satu pihak saja yang berjuang tapi kamu enggak. Aku tak tau seperti apa kamu, dengan siapa kamu, bagaimana kabarmu sekarang. Aku bukan lelah untuk mencintaimu. Hanya saja bolehkan kalau perasaan seseorang itu akan lelah jika diabaikan? Aku lelah, Dam. Iya… benar-benar lelah tanpa kepastian.”
Tanpa sadar air mataku menetes. Sudah berulang kali sejak tiga bulan yang aku menahan sakitnya menunggu. Aku terus berpikir—menguatkan bahwa besok kamu pasti memberi kabar. Tapi apa akan terus begitu? Aku lelah, Dam. Sungguh, aku tidak tahan.
Kutenggelamkan wajahku dalam telungkup tangan. Aku sudah tidak tahan untuk menangis. Sakit yang terpendam memang seperti bom Molotov yang siap kapan saja akan meledak. Dan saat inilah, bom itu meledak.
“Adam! Kamu jahat, Dam! Hiks….”
“Vir….”
Aku mendengar suara yang memanggil namaku. Seperti suara Adam. Iya… Adam. Tapi…, mana mungkin Adam ada di sini. Apa karena aku memikirkannya baru saja menjadikanku halusinasi bahwa Adam ada di sekitarku sekarang?
“Vira….”
Kuangkatkan kepalaku mencari sumber suara itu berasal. Aku menghela napas. Benar saja, itu Adam. Adam ada di sini setelah sekian lama tidak memberi kabar. Dia berjalan mendekatku lalu duduk di sampingku tanpa memberikan sapaan. Aku tersenyum miris.
“Maaf…,” ucapnya lirih dengan pandangannya tetap ke depan.
Aku tidak tahu lagi harus merespon bagaimana. Aku masih terpaku atas kedatangannya di sini sekarang. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba dia datang seenaknya tanpa memberi kabar sama sekali.
Aku menghela napasku sekali lagi sekadar menyuntikan kembali kekuatan yang tiba-tiba saja menghilang.
“Maaf buat apa, Dam?” ucapku sambil menatapnya.
Kami saling tatap. Lama untuk kami saling selidik antara apa yang harus dijelaskan. Pancaran matanya redup untuk ukuran ketika kami sedang bersama dahulu. Aku cukup sadar diri untuk itu. Dan itu cukup untukku tau kabar dia sekarang. Aku memutus kontak pandangan dengan matanya dan menunfukkan pandangan.
“Maaf buat semuanya, Vir. Maaf buat kamu menunggu selama ini. Dan mungkin kamu sudah tau apa yang terjadi dengan aku sekarang. Ya.. aku minta maaf, aku sudah ada penggantimu Vir. Aku nggak tau kapan rasa itu muncul.  Kita berawal dari teman, dan rasa nyaman itu tiba-tiba muncul tanpa aku kendalikan. Kamu tau kan cinta bahkan tak butuh alasan. Sesederhana itu aku memilihnya,” ucapnya.
Aku cukup kaget dengan jawabannya baru saja. Air mataku menetes kembali tanpa aku bisa bendung lagi. Bagaimana mungkin dengan mudahnya dia meminta maaf atas kesalahannya yang mungkin dianggap hanya kesalahan kecil saja? Bagaimana mungkin dia bersikap seolah biasa-biasa saja tanpa tahu dan sadar bahwa ada seseorang yang rela tidak tidur hanya untuk menanti kabarnya? Bagaimana itu bisa terjadi?
Aku mengumpulakn ceceran kertas responsiku yang tersebar. Kumasukan dengan asal ke dalam tas hitamku lalu bersiap untuk meninggalkan.
Namun tangannya menahanku untuk tetap bertahan. Aku menghela napasku sekali lagi dengan tanpa membendung air mataku untuk berhenti.
“Aku minta maaf, Vir,” lirihnya.
“Nggak perlu ada maaf, Dam. Toh semua juga sudah terjadi. Bukan kesalahanmu mungkin untuk melakukan ini. tetapi kesalahanku juga yang belum bisa jadi apa yang kamu mau. Yang belum bisa jadi membuat nyaman sampai nggak perlu ada orang lain di sekitar kita. Percuma kalau misalkan dalam hubungan kita hanya salah saja yang berjuang, kamu sudah ada penggantiku disana yang bahkan jauh lebih baik dari ku sekarang. Aku juga lelah, Dam. Bahkan lebih lelah daripada kamu,” ucapku dengan nada rendah namun penuh penekanan.
Dia bergeming tanpa sedikitpun balasan. Aku lepas tanganku yang digenggamnya.
“Aku menyerah, Dam untuk kita. Terimakasih untuk semuanya. Dan terimakasih untuk senja terakhirnya,” ucapku  lalu kulangkahkan pergi meninggalkannya sendiri.
Sungguh ini diluar perkiraanku semula. Aku pikir aktivitasnya disana merebutnya atas perhatian dariku. Tapi lebih dari itu. Bukan aktivitas atau organisasi, bahkan lebih buruk dari itu semua.
Aku memang lelah, tapi bukan berarti aku akan terus menatapnya walau keadaanya sudah begini bukan? Bagaimana mungkin aku berjuang sendiri tanpa ada aksi-reaksi yang timbul. Kalau ditanya soal sakit hati atau tidak. jelas pasti akan sakit hati. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur.
Aku seka air mataku yang masih menetes. Aku tahan untukku tidak terisak kembali olehnya. Olehnya yang bahkan  telah berganti jalan tanpa aku sadari. dan dengan bodohnya aku berharap bahwa kita akan tetap berjalan beriringan. Aku hela napas panjang dan melangkah lagi.
Mungkin bukan kemauan kita atau mungkin itu lebih aku sendiri untuk berpisah, Dam. Tapi bagaimanapun, sekeras apapun kita berusaha untuk tetap bersama. Tapi takdir tak memungkiri bahwa kita akhirnya akan berpisah seperti ini. Terimakasih atas moment yang tercipta antara kita. Biarkan dan izinkan aku untuk sekadar menyimpannya dan berharap semua akan baik-baik saja.[]

Minggu, 05 Agustus 2018

Dandelion 12— Qanaah!

Seberapa besar uang bagi hidup lo?

Pernah denger ungkapan, "Hidup untuk uang atau uang untuk hidup?". Pernah berpikir nggak kalau uang itu sebenernya buat apa sih?

Dikit-dikit uang. Pendidikan butuh uang; kos butuh uang; status butuh uang; jangan-jangan sampe harga diri lo ukur dengan uang juga?

Na'udzubillah.

Sampai sekarang aku masih belum ngerti, kenapa sih selalu uang menjadi tolak ukur. Kaya atau tidaknya seseorang diukur dari uang yang ia punya. Berani berapa lo?
Ujian mandiri pertaruhan adalah uang. Yang berani bayar lebih besar yang akan lolos ke perguruan tinggi. Emang uang bisa buat orang pinter?

"Lah, buktinya yang bisa bimbel bisa lolos PTN!"

Penelitian darimana lo kalau semua itu berkat uang? Oke, alat tukar sekarang adalah uang. Tapi bukan berarti, "Gue pengin pinter, gue beli 'pinter' ya biar bisa masuk kuliah!"

Salut gue.. salut buat orang yang bikin iklan! Dan lo.. bodoh!
Percuma woy, lo mau bayar berapapun, berapa besarnya kalo lo gamau usaha, ga ada niat juga percuma. Pinter atau enggaknya itu bergantung dari niat lo yang mau serius belajar apa enggak.

Terus nih, masalah kos-kosan.
Terus terang, gue gamau ngebikin romantisasi ala-ala drama korea. Tapi lama-lama bikin jengah, apalagi udah viral sampai ke anak SMA yang mulai mengubur mimpinya.

Sekarang aku tanya, lo ngekos tujuannya buat apa? Istirahat, tidur, belajar kan? Nah dari tujuan lo, yang lo butuhin apa? Tempat tidur, almari, meja belajar. Standard, tapi itu cukup!

Cukup! Cukup itu standarisasi bahwa dengan itu tujuan lo tercapai kan? Kenapa mesti dilebih-lebihin yang harus ada inilah dan itulah.

Gue tadi sore cukup tertampar dengan omongan orang. Uang lagi-lagi menjadi tolak ukur dimana kepuasan itu berada. Yang nyaman itu harus ada X, Y, dan Z. Padahal tanpa itu semua tujuan lo kecapai!

Jalan pulang, yang suasana kampus emang lenggang karena musim liburan. Kata-kata bapak mulai timbul, "Sesekali itu lihat ke bawah, Nduk. Ada orang yang nggak seberuntung kamu tapi mereka senang. Qanaah!"

Qanaah! Merasa cukup dengan apa yang dimiliki.

Cukup, itu.

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020? Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama. Tiga t...