“Aku mencintaimu bukan sehari-dua hari, melainkan telah
beratus waktu aku memupuknya dan sekarang, sirna!”
Kurutuki ujung sepatuku
yang berjalan melambat. Rasa yang berkecamuk dalam dada tak lagi dapat kutahan.
Dia yang selama ini aku perjuangkan, mematahkan rangkaian rangka yang kubangun
dengan kuat. Dia… Dia yang kini telah berbeda.
Aku menengok ke belakang. Tak ada tanda sedikitpun dia
akan mengejar. Berbicara saja pun tidak.
“Harusnya kamu
sadar dan tahu, kalau hubungan kita riskan untuk berpisah. Mengapa kamu lakukan
itu?
“Aku tak melakukan apa-apa. Yang
kulakukan hanya sekedar bertemu dengannya. Melepas rindu karena terpisah
terlalu lama,”
“Omong kosong! Dasar perempuan tak
tau diri. Sadar diri, tak usah sok kecantikan.”
Haruskah aku marah? Pantaskah aku mulai membencinya? Aku
tak tahu jawabannya.
Langkahku semakin kuperlambat. Aku masih terus berharap
bahwa semua ini hanya kesalahpahaman semata. Bahwa semua ini hanya salah satu
bahan canda yang biasa kau lakukan.
Kuberhentikan langkahku, sekali lagi, aku tengok ke belakang.
Mengapa belum ada kamu?
***
Sudah seminggu ini, kau tak memberi kabar sama sekali.
Berpapasan sering aku lakukan, namun kau hanya menghindar. Harus apalagi yang
aku lakukan supaya kamu mengerti bahwa aku menunggumu kembali, menceritakan
yang sebenarnya terjadi, bahkan menyakinkan akan kejadian tempo kemarin.
Pagi ini, sudah lebih dari sepuluh kali aku membuka line
chat-mu, berharap bahwa ada pemberitahuan darimu untuk sekedar ucapan selamat
pagi semata. Namun, harapan hanyalah harapan semata. Semua tak akan terjadi.
***
“Mau sampai kapan lo?”
Kusimpan handphone ku ke dalam saku celana. Aku menghela
napas sekali dan memejamkan mata.
“Sudah berapa kali lo buka tutup chat? Seratus, seribu,
sepuluh ribu atau sejuta? Nggak usah gengsi lah, kalau emang masih sayang ya lo
perjuangin. Lo cowok, dia cewek!” ucap Hans.
Kuseruput kopi yang mendingin. Hawa udara yang sedikit
dingin ditambah mentari yang tak kunjung memancarkan sinar berhasil membuat
suasana kian lepas. Aku terdiam, memandang semak belukar dengan nanar.
“Kalo lo jadi gue yang nangkap basah kalau cewek lo lagi
berduaan sama cowok lain, perasaan lo gimana? Lo mau marah tapi lo sudah
terlanjur sayang sama dia. Mau mulai pembicaraan tapi lo nggak salah, dia yang
salah,” terangku.
“Sekarang bukan lo yang salah, dia yang salah. Salah satu
harus mengalah. Lo nggak mungkin kan selamanya bohongin perasaan lo sendiri. Lo
nggak mungkin kan biarin dia lepas dari genggaman lo tanpa lo harus melepaskan?
Apa lo tau, apa lo sadar, tiap dia natap lo dia berharap kalau lo mulai buat
ngomong baik ke dia,” ucap Hans lagi.
Kuambil dan kuletakkan uang duapuluh ribuan di atas meja.
Kuberdiri kemudian berjalan menjauhi Hans yang semakin marah padaku.
Aku tahu aku salah kalau aku terus bersikap seperti
ini.Ucapan Hans mungkin membuatku sedikit membuka mata namun kupikir, dialah
yang salah.
Rintik hujan perlahan turun membasahi tanah. Aku mulai
bergegas mencari tempat untukku meneduhkan diri. Sampai disebuah halte dekat
sekali dengan taman kota, aku melihatnya sendirian duduk diantara ribuan air
yang datang.
Sejujurnya, rasa sayang aku melebihi rasa kecewa aku
dengannya. Aku perlahan melepaskan hoddie yang kukenakan dan mulai memberikan paying
hoddie itu untuknya.
“Hujan, teduh nanti sakit,” ucapku.
Luna menatapku dengan mata yang memerah. Aku hafal betul,
merah matanya menunjukkan bahwa dia barusaja menangis. Entah karena apa aku
tahu. Melihatnya begini membuat sorot mataku meluluh.
“Kamu aja. Aku nggakpapa,” Jawab Laluna.
“Kenapa sih selalu bilang nggakpapa padahal kamu
kenapa-napa. Kenapa selalu bilang enggak padahal kenyataannya iya. Lo tau hujan
kan? Lo tau mata lo merah kan? Teduh sekarang, ntar lo sakit!”
“Aku nggak papa, Mik,” ucapnya dengan air mata yang
lagi-lagi menetes.
Ingin sekali aku mendekapnya sekarang, namun apa boleh
buat. Nyaliku tak sebesar niatku. Kubiarkan ia menangis, mungkin dengan cara
seperti ini berhasil membuatnya lebih tenang.
“Cowok lo nggak nyamperin lo lagi?” Tanyaku lebih
hati-hati.
Luna menatapku dengan sorotan mata yang entah aku harus
mengartikan bagaimana. Sendu, marah, kecewa, aku sendiri tak mengerti.
“Maksud kamu apasih Mik? Dia cuma temanku, nggak lebih.
Kamu tahu aku kan?”
Aku terdiam.
“Apa aku semurah itu di hadapan kamu sekarang. Apa aku
nggak ada gunanya lagi di kehidupan kamu? Apa aku udah jadi debu yang bahkan
kamu nggak pernah tau bahwa aku beresiko terbang menjauh yang terus-terusan
dianggap nggak pernah ada? Apa aku kayak gitu Mik? Miko, jawab!”
“Aku tahu aku salah dariawal nggak bilang kalau aku mau ketemu
sama Jem. Aku minta maaf,” ucap Luna melemah.
Aku tetap bergeming, memandang tubuh kecil laluna yang
mulai pucat karena terlalu lama terkena guyuran hujan. Aku mulai mendekat,
merengkuh tubuh kecilnya ke dalam pelukan.
“Aku minta maaf selama ini egois sama kamu. Aku minta
maaf atas ucapanku dulu, aku minta maaf, Lun.”
Laluna tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan membalas
pelukanku. Aku mencium sekilas ujung rambut yang masih sama seperti minggu
minggu lalu. Betapa bodohnya aku melepaskan apa yang selama ini menggenggam.
Mungkin sebuah titik hitam yang tanpa sengaja terlukis
dalam kertas putih sangat nyata terlihat tanpa membutuhkan waktu sepersekian
detik. Tapi haruslah tahu, bahwa dengan adanya titik itu kita mulai kembali
sebuah perjalanan yang bahkan sama sekali tak terperhitungkan. Aku sadar
kesalahanku yang sudah kuperbuat kemarin, terlalu tertutup oleh adanya kecewa,
tanpa mengerti sumer kecewa itu nyata atau tidak. []