Kamis, 21 Desember 2017

[Cerpen— SalahPaham]

            “Aku mencintaimu bukan sehari-dua hari, melainkan telah beratus waktu aku memupuknya dan sekarang, sirna!”
                Kurutuki ujung sepatuku yang berjalan melambat. Rasa yang berkecamuk dalam dada tak lagi dapat kutahan. Dia yang selama ini aku perjuangkan, mematahkan rangkaian rangka yang kubangun dengan kuat. Dia… Dia yang kini telah berbeda.
            Aku menengok ke belakang. Tak ada tanda sedikitpun dia akan mengejar. Berbicara saja pun tidak.
            “Harusnya kamu sadar dan tahu, kalau hubungan kita riskan untuk berpisah. Mengapa kamu lakukan itu?
            “Aku tak melakukan apa-apa. Yang kulakukan hanya sekedar bertemu dengannya. Melepas rindu karena terpisah terlalu lama,”
            “Omong kosong! Dasar perempuan tak tau diri. Sadar diri, tak usah sok kecantikan.”
            Haruskah aku marah? Pantaskah aku mulai membencinya? Aku tak tahu jawabannya.
            Langkahku semakin kuperlambat. Aku masih terus berharap bahwa semua ini hanya kesalahpahaman semata. Bahwa semua ini hanya salah satu bahan canda yang biasa kau lakukan.
            Kuberhentikan langkahku, sekali lagi, aku tengok ke belakang. Mengapa belum ada kamu?
***
            Sudah seminggu ini, kau tak memberi kabar sama sekali. Berpapasan sering aku lakukan, namun kau hanya menghindar. Harus apalagi yang aku lakukan supaya kamu mengerti bahwa aku menunggumu kembali, menceritakan yang sebenarnya terjadi, bahkan menyakinkan akan kejadian tempo kemarin.
            Pagi ini, sudah lebih dari sepuluh kali aku membuka line chat-mu, berharap bahwa ada pemberitahuan darimu untuk sekedar ucapan selamat pagi semata. Namun, harapan hanyalah harapan semata. Semua tak akan terjadi.
***
            “Mau sampai kapan lo?”
            Kusimpan handphone ku ke dalam saku celana. Aku menghela napas sekali dan memejamkan mata.
            “Sudah berapa kali lo buka tutup chat? Seratus, seribu, sepuluh ribu atau sejuta? Nggak usah gengsi lah, kalau emang masih sayang ya lo perjuangin. Lo cowok, dia cewek!” ucap Hans.
            Kuseruput kopi yang mendingin. Hawa udara yang sedikit dingin ditambah mentari yang tak kunjung memancarkan sinar berhasil membuat suasana kian lepas. Aku terdiam, memandang semak belukar dengan nanar.
            “Kalo lo jadi gue yang nangkap basah kalau cewek lo lagi berduaan sama cowok lain, perasaan lo gimana? Lo mau marah tapi lo sudah terlanjur sayang sama dia. Mau mulai pembicaraan tapi lo nggak salah, dia yang salah,” terangku.
            “Sekarang bukan lo yang salah, dia yang salah. Salah satu harus mengalah. Lo nggak mungkin kan selamanya bohongin perasaan lo sendiri. Lo nggak mungkin kan biarin dia lepas dari genggaman lo tanpa lo harus melepaskan? Apa lo tau, apa lo sadar, tiap dia natap lo dia berharap kalau lo mulai buat ngomong baik ke dia,” ucap Hans lagi.
            Kuambil dan kuletakkan uang duapuluh ribuan di atas meja. Kuberdiri kemudian berjalan menjauhi Hans yang semakin marah padaku.
            Aku tahu aku salah kalau aku terus bersikap seperti ini.Ucapan Hans mungkin membuatku sedikit membuka mata namun kupikir, dialah yang salah.
            Rintik hujan perlahan turun membasahi tanah. Aku mulai bergegas mencari tempat untukku meneduhkan diri. Sampai disebuah halte dekat sekali dengan taman kota, aku melihatnya sendirian duduk diantara ribuan air yang datang.
            Sejujurnya, rasa sayang aku melebihi rasa kecewa aku dengannya. Aku perlahan melepaskan hoddie yang kukenakan dan mulai memberikan paying hoddie itu untuknya.
            “Hujan, teduh nanti sakit,” ucapku.
            Luna menatapku dengan mata yang memerah. Aku hafal betul, merah matanya menunjukkan bahwa dia barusaja menangis. Entah karena apa aku tahu. Melihatnya begini membuat sorot mataku meluluh.
            “Kamu aja. Aku nggakpapa,” Jawab Laluna.
            “Kenapa sih selalu bilang nggakpapa padahal kamu kenapa-napa. Kenapa selalu bilang enggak padahal kenyataannya iya. Lo tau hujan kan? Lo tau mata lo merah kan? Teduh sekarang, ntar lo sakit!”
            “Aku nggak papa, Mik,” ucapnya dengan air mata yang lagi-lagi menetes.
            Ingin sekali aku mendekapnya sekarang, namun apa boleh buat. Nyaliku tak sebesar niatku. Kubiarkan ia menangis, mungkin dengan cara seperti ini berhasil membuatnya lebih tenang.
            “Cowok lo nggak nyamperin lo lagi?” Tanyaku lebih hati-hati.
            Luna menatapku dengan sorotan mata yang entah aku harus mengartikan bagaimana. Sendu, marah, kecewa, aku sendiri tak mengerti.
            “Maksud kamu apasih Mik? Dia cuma temanku, nggak lebih. Kamu tahu aku kan?”
            Aku terdiam.
            “Apa aku semurah itu di hadapan kamu sekarang. Apa aku nggak ada gunanya lagi di kehidupan kamu? Apa aku udah jadi debu yang bahkan kamu nggak pernah tau bahwa aku beresiko terbang menjauh yang terus-terusan dianggap nggak pernah ada? Apa aku kayak gitu Mik? Miko, jawab!”
            “Aku tahu aku salah dariawal nggak bilang kalau aku mau ketemu sama Jem. Aku minta maaf,” ucap Luna melemah.
            Aku tetap bergeming, memandang tubuh kecil laluna yang mulai pucat karena terlalu lama terkena guyuran hujan. Aku mulai mendekat, merengkuh tubuh kecilnya ke dalam pelukan.
            “Aku minta maaf selama ini egois sama kamu. Aku minta maaf atas ucapanku dulu, aku minta maaf, Lun.”
            Laluna tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan membalas pelukanku. Aku mencium sekilas ujung rambut yang masih sama seperti minggu minggu lalu. Betapa bodohnya aku melepaskan apa yang selama ini menggenggam.

            Mungkin sebuah titik hitam yang tanpa sengaja terlukis dalam kertas putih sangat nyata terlihat tanpa membutuhkan waktu sepersekian detik. Tapi haruslah tahu, bahwa dengan adanya titik itu kita mulai kembali sebuah perjalanan yang bahkan sama sekali tak terperhitungkan. Aku sadar kesalahanku yang sudah kuperbuat kemarin, terlalu tertutup oleh adanya kecewa, tanpa mengerti sumer kecewa itu nyata atau tidak. []

Dua Ribu Dua Puluh, Ya?

2020? Cepat banget sudah 2020, artinya tahun ini jadi tahun terakhir sebelum official dapat tambahan gelar baru di belakang nama. Tiga t...